Beranda | Artikel
IMAM ASY SYAFII, Dan Dampak Positif Perhatian Sang Ibu
Senin, 18 April 2022

Para sahabat telah menyebarkan Islam kepada generasi berikutnya. Lewat tangan mereka, agama Islam terjaga dengan kehendakNya. Baik melalui media pengajaran, jihad ataupun dakwah menembus belahan dunia lain.

Generasi Salaf selanjutnya telah mengikuti Sunnah yang telah dicontohkan oleh para sahabat. Mereka memanggul senjata dan menggerakkan pena serta menyibukkan lisan dengan berdakwah kepada manusia. Setiap generasi yang telah berlalu, maka senantiasa ada generasi berikutnya yang dimunculkan Allah untuk mengemban amanah agama ini. Nabi صلى الله عليه وسلّم bersabda:

إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا

Sesungguhnya Allah mengutus seseorang yang memperbarui agama bagi umat ini pada setiap seratus tahun. (Ash Shahihah, 599).

Di antara mutiara yang menyinari umat ini ialah ImamMuhammad bin Idris Asy Syafi’i. Beliau termasuk bintang pembaharu ummat dan menjadi panutan umat.

Lengkapnya, beliau bernama Muhammad bin Idris bin Al Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin As Saib bin ‘Ubaid bin Abd Yazid bin Hasyim bin Al Muththalib bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luhay bin Ghalib Abu ‘Abdillah Al Qurasyi Asy Syafi’i.

Imam Asy Syafi’i bertemu nasabnya dengan Rasulullah صلى الله عليه وسلّم pada Abdu Manaf. Sebab Al Muththalib adalah saudara lelaki Hasyim yang merupakan ayah Abdul Muththalib, kakek Nabi. Sementara penisbatan nama beliau kepada Syafi’ bin As Saib, ia adalah sahabat kecil yang sedang tumbuh remaja, yang sempat menjumpai Nabi. Beliau populer sebagai nashirul hadits (pembela hadits).

Para ahli sejarah telah sepakat, Imam Asy Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H, yaitu tahun wafatnya Imam Abu Hanifah.

Berkaitan dengan perbedaan tempat lahir Imam Syafi’i yang beragamriwayatnya, Al Hafizh mendudukkan dengan berkata: “Pendapat yang dapat mengakomodasi seluruh pendapat yang ada, bahwa beliau dilahirkan di Gazza ‘Asqalan. Tatkala berumur dua tahun, ibunya membawanya ke Hijaz (Mekkah) dan mengantarkannya kepada sukunya (ibunya) dari keluarga Yaman. Sebab sang ibu marganya adalah Azdiah. Dia tinggal bersama mereka. Saat mencapai usia sepuluh tahun, sang ibu khawatir terhadap nasib anaknya, sehingga kemudian ia dipindah bersama Muhammad bin Idris ke Mekkah.

Imam Asy Syafi’i kecil, tumbuh dalam keadaan yatim dan penuh dengan kemelaratan. Namun ini semua tidak mempengaruhi kehidupannya, tatkala Allah telah memudahkannya berjalan di atas jalan yang benar.

Imam Asy Syafi’i mengisahkan tentang dirinya: “Aku tumbuh dalam keadaan yatim dengan pengawasan ibu. Ibuku tidak memiliki sesuatu untuk membayar guruku. Tapisang guru sudah rela kepadaku untuk menjadi penggantinya kalau dia pergi. Aku menghafalkan Al Qur`an. Aku memasuki masjid dan duduk berbaur dengan para ulama. Aku pun menjadi hafal hadits, atau suatu permasalahan. Tempat tinggal kami dekat dengan perkampungan di Khaif. Aku menulis di potongan tulang-belulang. Jika sudah banyak, maka aku lemparkan ke dalam keranjang yang besar”.

Setelah menyelesaikan hafalan Al Qur‘an di Mekkah, beliau cenderung untuk mempelajari syair-syair dan sastra Arab. Oleh karena itu, beliau sering bolak-balik ke perkampungan Hudzail untuk menghafalkan syair-syair mereka. Sebab kabilah Hudzail merupakan suku yang dikenal paling fasih dalam berbahasa Arab.

Mush’ab Az Zubairi mengatakan, bahwa Asy Syafi’i sudah menghafal syair-syair suku Hudzail di luar kepala. Kemudian ia berkata kepadaku,”Janganlah engkau beritahukan hal ini kepada orang lain.” Dia pernah tidak tidur dari sejak malam hingga tiba waktu pagi hari untuk mengingat-ingat syair-syair tersebut bersama ayahku.

Adapun kemudian beliau beralih dengan mempelajari ilmu fikih, penyebabnya ialah muncul saat ia berjalan dengan mengendarai binatang tunggangannya. Waktu itu ia melantunkan satu bait syair.

Mendengar itu, sekretaris ayah Mush’ab bin Abdillah Az Zubairi berkomentar: “Orang sepertimu akan kehilangan kehormatan karena sebab itu. Mana kapasitas penguasaan hukum fiqihmu?”

Pertanyaan ini sangat menyentuhnya, sehingga mengantarkan diri untuk segera mendatangi Mufti Mekkah waktu itu, yaitu Muslim Az Zanji. Kepada Mufti Mekkah ini Asy Syafi’i ingin menekuni majlis ilmunya, dan berikutnya menjumpai Imam Malik di Madinah dengan tujuan yang sama.

Ada riwayat lain yang menjelaskan perubahan orientasi Imam Asy Syafi’i yang terdorong oleh kritikan syaikhnya, yaitu Muslim Az Zanji.

Al Baihaqi meriwayatkan, bahwa Imam Asy Syafi’i mengisahkan tentang dirinya: “Aku keluar untuk mempelajari nahwu dan sastra Arab. (Di tengah jalan) Muslim bin Khalid Az Zanji berpapasan denganku. Dia bertanya,’Hai, pemuda, dari mana engkau?’.”

Aku menjawab,’Aku penduduk Mekkah.”

Dia bertanya lagi,”Tepatnya, dimana rumahmu?”

“Di lembah Khaif,” jawabku.

Dia bertanya lagi,”Dari suku apa?”

Aku menjawab,”Dari suku Abdi Manaf.”

Muslim bin Khalid Az Zanji pun berkata,”Bagaimana kamu ini. Allah telah memuliakan dirimu di dunia dan akhirat. Tidakkah lebih baik pemahamanmu engkau arahkan pada bidang fikih? Itu lebih baik bagi dirimu.”

Begitulah perjumpaan yang mengesankan Imam Asy Syafi’i, yang kemudian mengubah arah pemikirannya untuk lebih menekuni ilmu fiqih.

Sebelum pergi menemui Imam Malik, terlebih dahulu Imam Asy Syafi’i membekali diri dengan menghafal Al-Muwaththa‘ di luar kepala, sebagai wujud keseriusannya mematangkan rencana belajar kepada Imam Malik. Kala itu, Imam Asy Syafi’i berusia sepuluh atau tiga belas tahun. Dia secara langsung membaca Al Muwaththa‘ di hadapan Imam Malik di luar kepala. Sehingga membuat Sang Guru takjub terhadap kekuatan hafalan dan semangat belajarnya. Imam Malik bertanya,”Siapa namamu?”

“Muhammad,” jawabku.

Maka beliau berkata,”Wahai, Muhammad. Bertakwalah kepada Allah dan jauhilah maksiat. Sesungguhnya engkau akan mendapatkan kedudukan yang tinggi kelak.”

Imam Asy Syafi’i menghadiri majlis ilmu Imam Malik sampai Sang Guru wafat tahun 179 H, dan kemudian kembali ke kampung halamannya setelah berhasil menggenggam ilmu Imam Malik yang banyak. Sejak itu, Imam Asy Syafi’i mulai dikenal dengan keilmuannya dalam usia 29 tahun.

Selain kepada Imam Malik, Imam Asy Syafi’i juga mencari ilmu kepada Sufyan bin ‘Uyainah, Muslim bin Khalid Az Zanji dan Ibrahim bin Abi Yahya. Dan banyak guru yang beliau singgahi. Mush’ab Az Zubairi sampai mengatakan: “Asy Syafi’i tidaklah menyisakan ilmu Imam Malik, kecuali hanya sedikit saja. Sementara itu syaikh-syaikh di Madinah yang lain, telah berhasil beliau kumpulkan ilmu mereka”.

Imam Ahmad sempat bertemu dengan Imam Asy Syafi’i. Mereka berdua saling memberikan istifadah (masukan ilmiah). Dalamkesempatan lain, Imam Ahmad memuji Imam Asy Syafi’i sebagai pembela atsar. Sebaliknya Imam Asy Syafi’i pernah berkata kepada Imam Ahmad: “Jika ada hadits yang shahih menurut kalian dari Nabi, katakanlah kepadaku agar aku memeganginya’.

Secara khusus, Imam Asy Syafi’i pernah memuji para ahli hadits dengan berkata: “Seandainya tidak ada ahli hadits, niscaya kami hanya seonggok kacang-kacangan”.

Imam Asy Syafi’i juga dikenal mempunyai banyak murid yang duduk di majlis beliau untuk mereguk ilmunya. Yang paling terkenal ialah: Ar Rabi bin Sulaiman Al Muradi, Abu Ibrahim Ismail bin Yahya bin Isma’il Al Muzani, Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya Al Buwaithi. Yang terakhir ini termasuk ulama pemberani menantang arus, yang bersama Imam Ahmad membela aqidah Al Qur‘an adalah Kalamullah, bukan makhluk. Dia meninggal di penjara Irak tahun 231 H.

Imam Asy Syafi’i meninggalkan banyak pusaka keilmuan, di antaranya kitab Al Umm. Sebuah kitab besar, memuat 128 bab. Ada orang yang mengingkari jika kitab ini bukan milik Imam Asy Syafi’i, tetapi merupakan tulisan Al Buwaithi dengan bantuan Ar Rabi bin Sulaiman Al Muradi. Tentang hal ini, muhaqqiq (editor) kitab Manaqibu Asy Syafi’i, karya Al Baihaqi dan Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq kitab Ar Risalah telah membantahnya. Kitab penting lainnya karya Imam Asy Syafi’i ialah, kitab Ar Risalah peletak dasar ilmu ushul fiqh.

Begitu cemerlangnya Imam Asy Syafi’i dalam ilmu agama, membuat orang lain kagummemujinya. Salah satunya ialah Harun bin Sa’id Al Ailiy, ia berkata: “Aku tidak pernah melihat orang seperti Asy Syafi’i yang datang ke Mesir. Ada yang memberitahukan, seorang lelaki dari suku Quraisy datang. Maka kami datang kepadanya, tatkala ia sedang melakukan”.

Di akhir hayatnya Imam Asy Syafi’i hanya menyibukkan dengan mengajarkan ilmu dan penulisan kitab di Mesir. Sampai tubuhnya terkena penyakit wasir yang menimbulkan pendarahan luar biasa. Lantaran kecintaannya terhadap ilmu begitu besar, keluhan yang sedang menderanya tidak mampu mengalahkan hasrat kuat untuk senantiasa menyebarkan kebaikan dengan ilmu yang dimilikinya, sampaiakhirnya ajal menjemput Imam Asy Syafi’i di akhir bulan Rajab 204 H.

Al Muzani, salah seorang muridnya pernah menjumpai beliau saat menderita sakit dan bertanya: “Bagaimana kondisimu, wahai Guru?”

Imam Asy Syafi’i menjawab,”Aku sekarang akan meninggalkan dunia dan berpisah dengan kawan-kawan, mereguk gelas kematian dan mendatangi Allah serta menjumpai amalan burukku. Demi Allah, aku tidak tahu, apakah ruhku akan menuju surga sehingga aku dapat mengucapkan selamat padanya, atau justru terhempas di lembah neraka, dan aku pun menangisinya.”

Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmatNya yang luas.

Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M


Artikel asli: https://majalahassunnah.net/artikel/imam-asy-syafii-dan-dampak-positif-perhatian-sang-ibu/